Tuesday, November 8, 2011

Unexpected way to travel (I)

Aku mau berbagi pengalaman aneh yang terjadi hari Minggu (6/11) lalu. Here the story goes.

Mengejar UTS di hari Senin kemarin, harusnya aku kembali ke Jogja hari Minggu pagi naik kereta. Tapi karena kebetulan hari Minggu bertepatan dengan Idul Adha, aku nggak diizinkan pulang pagi. Nggak ada feeling apa-apa saat aku memesan tiket jam lima sore itu, selain aku memang kurang mempercayai kualitas maskapainya. Aku berangkat ke bandara cukup awal, sejak pukul tiga. Sejenak, aku mampir di terminal 3 untuk mengklaim Victorinox yang sempat disita dulu. Setelahnya, aku bergegas ke terminal 1 untuk check in dan seperti biasa, menunggu pesawat yang delayed. Masih juga tidak ada perasaan apa-apa saat pesawat hanya bergeming selama hampir sejam di landasan, karena lazim bagi mereka untuk saling tunggu giliran lepas landas. Bahkan, aku masih juga positive thinking saat satu-satunya pemandangan di luar jendela adalah petir yang menyambar-nyambar langit hitam. Kuasa Tuhan, pikirku.

Tapi aku tidak bisa tidur, aku yang biasanya selalu mengantuk malah tidak bisa tidur. Lagipula, penerbangan dari Jakarta ke Jogja kan cuma memakan waktu 45 menit sampai sejam. Tentu tidak akan terasa lama jika dilalui dengan membaca majalah, 'kan? Tapi waktu selama itu belum juga membuat kami mendarat di Jogja, aku bahkan tidak tahu sudah jam berapa saat aku berpikir demikian.

Kemudian benar saja, suara pilot mulai bergema di telinga kami, katanya lampu landasan di bandara Adisucipto mati dan sedang berusaha diperbaiki. Pesawat telah berputar-putar selama dua puluh menit dan diperkirakan akan mendarat lima belas menit lagi. Wah, bukan deg-degan lagi perasaanku waktu itu. Reputasi maskapai yang kerap kecelakaan ditambah fakta demikian membuat berbagai kemungkinan berkecamuk di kepalaku. Mungkin aku harus belajar mengenakan pelampung, atau mencari letak tombol kantung oksigen, atau apapun yang akan membantu kalau terjadi apa-apa. Semoga saja tidak terjadi apa-apa.

Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit, bahkan lebih, pesawat belum juga terbang merendah. Aku berusaha tetap tenang. Pilot kemudian mengumumkan lagi, berita yang membuat seisi pesawat shock. Dalam waktu sepuluh menit, pesawat akan mendarat di bandara Juanda, Surabaya. Semua bingung, semua bertanya-tanya "kenapa bukan Solo? bla bla bla...." dan barulah esoknya aku tahu kalau bandara Solo yang tergolong kecil ditutup setelah pukul tujuh malam tiba. Tapi intinya, malam itu kami harus transit dulu di bandara Juanda.

Aku sudah dijanjikan akan dijemput, sedangkan aku mendarat di Juanda pada pukul sepuluh malam yang artinya mungkin aku telah ditunggu selama empat jam. Benar saja, pacarku yang baik sekali itu masih berada di bandara dalam keadaan panik karena pesawatku tidak ada kabar. Info terakhir yang aku dapatkan dari dia adalah bandara Jogja telah ditutup sampai besok pagi (7/11).
Ada lebih dari tiga pesawat yang dialihkan ke Juanda int'l airport, tanpa kabar dari maskapai yang tidak responsif padahal kami sudah tahu tidak mungkin ada penerbangan malam itu ke Jogja. Kabar yang ada tidak pasti, informasi tidak jelas. Kami dibuat berputar keluar dan masuk ruang tunggu sampai sebagian dari kami protes keras, menuntut pertanggungjawaban. Akhirnya, kami diminta turun keluar bandara untuk menunggu bus maskapai (yang jumlahnya cuma 2 bus kecil untuk penumpang 3 pesawat) yang bolak-balik mengantar kami dari bandara ke hotel. Tidak ada makanan kompensasi bagi kami sampai saat itu, beberapa terpaksa membeli sendiri. Tidak profesional, pikirku. Berani-beraninya mereka menjanjikan hidangan jika pesawat delay, yang begini saja mereka tidak mau rugi.
Menunggu bus memakan waktu yang sangaaaaat lama, mereka pikir waktu bisa diulang, mungkin. Saat itulah aku kenalan dengan mahasiswi FH UGM 2008, mahasiswa S2 UGM dan seorang ibu yang doyan marah-marah. Ibu ini kesal dengan pasangan asal Kolombia yang duduk di depannya, ia bilang "mereka bikin film di depan saya, pasti mereka tuh yang bikin kita sial kayak gini". Kami bertiga hanya bisa tertawa sopan, sambil sebenarnya memikirkan si Ibu mungkin lupa ini sudah tahun 2011. Si ibu cerita, dia mengantar suaminya pulang ke Jogja yang bapaknya meninggal dan tidak akan dimakamkan sebelum si suami pulang. Rombongan mereka berisi enam orang, yang semuanya kesal karena dikiranya naik pesawat akan sampai lebih cepat. Aku lupa mahasiswa S2 itu mau apa, tapi anak FH yang kutemui juga ternyata mengejar jadwal UTS pagi sama sepertiku, sama seperti beberapa anak dengan jaket fakultas teknik yang ada di dekat kami juga (aku mencuri dengar).
Aku dan anak FH yang aku lupa namanya ini menginap dalam kamar yang sama dengan seorang ibu separuh baya dan anaknya yang mungkin sudah tiga puluhan. Mereka juga rupanya mau melayat. Aku juga baru tahu belakangan kalau anaknya dulu adalah lulusan Sosiatri Fisipol UGM tahun 1987. Lama juga ya, aku saja belum lahir.
Anyway, kami bangun pagi jam 4, sarapan, lalu langsung naik bus (aku masuk bus pertama, lho) dan langsung boarding saat itu juga sekitar jam setengah enam pagi. Saat itu aku sudah punya teman baru lagi, Art (Bapak berusia 40an asal Amerika) dan seorang guru sekolah internasional di Jakarta. Mungkin usianya baru dua atau tiga puluhan, gayanya asik, sulit dipercayai kalau dia itu guru secondary school sekaligus privat. Wajahnya persis Jackie Chan, tapi lebih tampan dan lebih pendek. Kami bertiga duduk bersama sekaligus mengobrol banyak. Topik kami yang paling seru mungkin saat bicara politik AS, beruntung aku mempelajarinya sekarang di kuliah sehingga aku bisa sekalian bertanya-tanya. Ia adalah penggemar cultural sites yang rela travelling overseas ke India, Kamboja, Thailand dan Indonesia hanya untuk melihat candi yang bahkan sering dilupakan masyarakat kita sendiri. Ironis. Ia bahkan rela pergi sendiri tanpa ditemani istri dan putri 15 tahunnya yang tidak betah travelling. Katanya, makanan di Asia enak-enak. Hal menarik yang aku tahu darinya adalah bahwa awalnya ia mengira kalau masyarakat Indonesia masih primitif. "I never know that people here use blackberry and so computerized," 
Primitif? Memang beberapa suku di Indonesia masih berkeadaan demikian, bahkan perempuannya banyak yang masih tidak berpakaian. Tapi kan bukan seisi Indonesia seperti itu. Ternyata pengetahuan negara lain tentang Indonesia masih sangat minim, mengingat temanku, Erin Gough, dari New Zealand yang tergolong dekat pun tidak tahu banyak soal Indonesia. Kasihan ya, negara sebesar dan seindah ini harus begitu saja dikira orang masih primitif dan antah-berantah. Sebegitu sulitnyakah eksis di dunia internasional?
Kami sharing tentang banyak hal, sampai isu moral kami angkat. Art tahu kalau pandangan orang Indonesia tentang moral masih sangat ekstrim. Ia bisa menebak pasangan Kolombia tadi pasti dianggap menyimpang. Nah, kalau si guru ini cerita bagaimana menyenangkannya mengajar namun sulit baginya untuk berhadapan dengan murid sekolah internasional yang ia katakan cenderung arogan.
'They know that they have powerful parents and they have their own business to run, so they won't have to think about education.'
Obrolan kami dari seru beranjak melelahkan karena lagi-lagi pesawat tak kunjung mendarat. Pesawat sempat terlihat merendah menembus awan namun ia menukik naik lagi setelah beberapa saat. Pemandangan di jendela hanya menyisakan kabut tebal putih yang pekat mengaburkan pandangan.


Apa yang terjadi? 
Tunggu postinganku selanjutnya ya, stay tuned ;)

2 comments:

  1. Sebenernya sih kita eksis eksis aja di dunia internasional, anak anak Indonesia juga banyak yang kuliah di LN. Tapi...orang luar sendiri yang memang cenderung ignorant dengan dunia luar selain negara mereka sendiri.Ya sama kasusnya kalo lo tanya ke mbak mbak penjual gudeg di jalan Terban mungkin dia gak tau kalo di Amerika Serikat ada benda sesimpel apa ya..vending machine, out of her imagination because their scope of world is so small. So no, we're 'that' famous di dunia internasional kok.

    penasaran, pasangan Kolombia nya ngapain sih? ho oh ho oh?

    ReplyDelete
  2. Hai, maaf baru ngeliat hehehe. Ya emang sih, cuma ternyata pengetahuan orang masih sangat beragam ttg eksistensi negara kita. beberapa aware, tapi yang lain bahkan ngga pernah denger nama Indonesia kalo ga nyebut Bali. Maybe, we should do more. I can't say that we are that famous, but indeed we're on our way! ;)

    ReplyDelete